''SPORT unites a nation-states'', olahraga menyatukan negara-bangsa.
Salah satu judul lagu Presiden SBY yang menjadi official anthem SEA
Games XXVI pun berjudul ''United and Rising'' (''Bersatu dan Bangkit'').
Mestinya olahraga memang menyatukan dan membangkitkan, bukannya
meretakan, memilukan, dan menjadi mimpi buruk. Itulah yang seakan kini
terjadi dalam persiapan perhelatan olahraga se-Asia Tenggara SEA Games,
Jakarta-Palembang 11-22 November 2011.
Dapat dipastikan SEA Games akan berjalan meski dengan berbagai
persoalan dan kendala. Cabang sepak bola misalnya, sudah dimulai 3
November lalu. Tak hanya persoalan teknis dan infrastruktur, namun juga
momen, mengingat November ini musim hujan dan diperkirakan di Jakarta
sendiri mengalami siklus banjir 5 tahunan.
Apa boleh dikata, mengutip idiom the show must go on, aral boleh
melintang, kritik pun boleh bertubi-tubi. Menpora Andi Alifian
Mallarangeng yang patut bertanggung-jawab atas perhelatan ini, sejak
semula tidak menggubris masukan dari berbagai elemen masyarakat,
termasuk dari anggota DPR Komisi X yang membidangi olahraga.
Mengapa perhelatan SEA Games ini perlu mendapat perhatian dan kritik?
Mengingat atas berbagai persoalan yang ada, bagaimana pun bangsa ini
menjadi tuan rumah yang akan kedatangan tamu wisman dari Asia Tenggara.
Di Jakarta misalnya, proyek galian gorong-gorong yang mengakibatkan
tanah merah menggunung di seputar kawasan Soedirman yang berdekatan
dengan kompleks Stadion Gelora Bung Karno (GBK), tentu akan mengundang
impresi buruk.
Belum lagi persoalan kemacetan, seperti di kawasan Soedirman, di mana
sejumlah venue akan digelar di kompleks GBK, tentu juga menimbulkan
kesan tidak sedap. Ini tentu akan menjadi catatan serta penilaian
tersendiri bagi para wisman, diplomat, ofisial, ataupun atlet se-Asia
Tenggara yang bertamu ke Jakarta.
Persoalan di Palembang
Persoalan di Jakarta berbeda dari di Palembang, mengingat SEA Games
diadakan di dua kota. Sejumlah venue belum juga rampung 100%. Banyak
pihak merasa prihatin ketika menyaksikan kondisi kawasan Jakabaring
Sport Center melalui berita di televisi. Tempat pertandingan hingga kini
masih berdebu, belum dilapis aspal. Sarana penunjang di venue cabang
olahraga seperti panjat dinding, menembak, dayung, juga masih
bermasalah.
Akibatnya, publik menilai bahwa ada yang salah urus dari proyek
tender dengan developer di Jakabaring. Dikabarkan pula, wisma atlet
belum rampung secara keseluruhan. Bahkan ada sejumlah warga yang
melaporkan pada pihak terkait, karena tanah mereka yang kini disulap
menjadi Jakabaring Sport Center, kabarnya belum dilunasi Pemprov Sumsel.
Ini juga harus menjadi catatan supaya tak menimbulkan kesan buruk
terhadap pemda karena merampas apa yang seharusnya menjadi hak
masyarakat setempat.
SEA Games kali ini menimbulkan kesan seakan-akan panitia pelaksana
(INASOC) melakukan tindakan gerak cepat dan serbainstan, tanpa ada
perhitungan dan persiapan matang. Jika dibandingkan misalnya, untuk
menyelenggarakan Olimpiade London 2012 saja, pemerintah Inggris beserta
stakeholder telah menyiapkan jauh-jauh hari. Begitu juga seperti
penyelenggaraan World Cup Brasil 2014, persiapannya telah dilakukan
jauh-jauh hari. Mestinya SEA Games pun demikian berkaca dari event
olahraga besar semacam Olimpiade atau World Cup.
Karena yang akan menanggung semua persoalan ini bukan cuma Menpora,
INASOC, ataupun KONI melainkan bangsa ini bisa dipermalukan oleh
bangsa-bangsa lain di kawasan Asia Tenggara sebagai dampak dari buruknya
penyelenggaraan event besar seperti SEA Games. Terus terang, kita malu
sebagai bangsa saat tamu pesta olahraga itu membanjiri Jakarta atau
Palembang, apalagi Ibu Kota sebagai representasi dari Indonesia. Orang
akan menilai, jika Jakarta saja semrawut, apalagi kota-kota lain yang
bukan capital region.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar