Rabu, 09 November 2011

Mimpi Buruk SEA Games

''SPORT unites a nation-states'', olahraga menyatukan negara-bangsa. Salah satu judul lagu Presiden SBY yang menjadi official anthem SEA Games XXVI pun berjudul ''United and Rising'' (''Bersatu dan Bangkit''). Mestinya olahraga memang menyatukan dan membangkitkan, bukannya meretakan, memilukan, dan menjadi mimpi buruk. Itulah yang seakan kini terjadi dalam persiapan perhelatan olahraga se-Asia Tenggara SEA Games, Jakarta-Palembang 11-22 November 2011.
Dapat dipastikan SEA Games akan berjalan meski dengan berbagai persoalan dan kendala. Cabang sepak bola misalnya, sudah dimulai 3 November lalu. Tak hanya persoalan teknis dan infrastruktur, namun juga momen, mengingat November ini musim hujan dan diperkirakan di Jakarta sendiri mengalami siklus banjir 5 tahunan.
Apa boleh dikata, mengutip idiom the show must go on, aral boleh melintang, kritik pun boleh bertubi-tubi. Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang patut bertanggung-jawab atas perhelatan ini, sejak semula tidak menggubris masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari anggota DPR Komisi X yang membidangi olahraga.
Mengapa perhelatan SEA Games ini perlu mendapat perhatian dan kritik? Mengingat atas berbagai persoalan yang ada, bagaimana pun bangsa ini menjadi tuan rumah yang akan kedatangan tamu wisman dari Asia Tenggara. Di Jakarta misalnya, proyek galian gorong-gorong yang mengakibatkan tanah merah menggunung di seputar kawasan Soedirman yang berdekatan dengan kompleks Stadion Gelora Bung Karno (GBK), tentu akan mengundang impresi buruk.
Belum lagi persoalan kemacetan, seperti di kawasan Soedirman, di mana sejumlah venue akan digelar di kompleks GBK, tentu juga menimbulkan kesan tidak sedap. Ini tentu akan menjadi catatan serta penilaian tersendiri bagi para wisman, diplomat, ofisial, ataupun atlet se-Asia Tenggara yang bertamu ke Jakarta.
Persoalan di Palembang
Persoalan di Jakarta berbeda dari di Palembang, mengingat SEA Games diadakan di dua kota. Sejumlah venue belum juga rampung 100%. Banyak pihak merasa prihatin ketika menyaksikan kondisi kawasan Jakabaring Sport Center melalui berita di televisi. Tempat pertandingan hingga kini masih berdebu, belum dilapis aspal. Sarana penunjang di venue cabang olahraga seperti panjat dinding, menembak, dayung, juga masih bermasalah.
Akibatnya, publik menilai bahwa ada yang salah urus dari proyek tender dengan developer di Jakabaring. Dikabarkan pula, wisma atlet belum rampung secara keseluruhan. Bahkan ada sejumlah warga yang melaporkan pada pihak terkait, karena tanah mereka yang kini disulap menjadi Jakabaring Sport Center, kabarnya belum dilunasi Pemprov Sumsel. Ini juga harus menjadi catatan  supaya tak menimbulkan kesan buruk terhadap pemda karena merampas apa yang seharusnya menjadi hak masyarakat setempat.
SEA Games kali ini menimbulkan kesan seakan-akan panitia pelaksana (INASOC) melakukan tindakan gerak cepat dan serbainstan, tanpa ada perhitungan dan persiapan matang. Jika dibandingkan misalnya, untuk menyelenggarakan Olimpiade London 2012 saja, pemerintah Inggris beserta stakeholder telah menyiapkan jauh-jauh hari. Begitu juga seperti penyelenggaraan World Cup Brasil 2014, persiapannya telah dilakukan jauh-jauh hari. Mestinya SEA Games pun demikian berkaca dari event olahraga besar semacam Olimpiade atau World Cup.
Karena yang akan menanggung semua persoalan ini bukan cuma Menpora, INASOC, ataupun KONI melainkan bangsa ini bisa dipermalukan oleh bangsa-bangsa lain di kawasan Asia Tenggara sebagai dampak dari buruknya penyelenggaraan event besar seperti SEA Games. Terus terang, kita malu sebagai bangsa saat tamu pesta olahraga itu membanjiri Jakarta atau Palembang, apalagi Ibu Kota sebagai representasi dari Indonesia. Orang akan menilai, jika Jakarta saja semrawut, apalagi kota-kota lain yang bukan capital region.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar